Masyarakat Sipil Kecewa Perkosaan Tak Masuk RUU TPKS
SuaraBanyuurip.com - Teguh Budi Utomo
Jakarta – Tidak masuknya tindak pidana perkosaan dalam RUU
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), menjadikan rancangan regulasi tersebut
bakal kehilangan spesifikasinya sebagai undang-undang yang bersifat khusus. Oleh
sebab itu Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) dan Forum Pengada Layanan (FPL),
menuntut agar kejahatan paling purba itu dimasukkan dalam RUU yang segera
disahkan jadi undang-undang tersebut.
“Pengaturan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan
seksual penting untuk dimasukkan ke dalam RUU TPKS, karena merupakan tindak
kekerasan yang paling sering terjadi,” tegas Ira Imelda dari Women Crisis
Centre Bandung, dalam siaran pers bersama JMS dan FPL untuk advokasi RUU TPKS,
Kamis (7/4/2022).
Pada hari Rabu (6/4/2022), Panja Baleg DPR RI telah selesai
membahas RUU TPKS. Para aktifis yang tergabung dalam JMS dan FPL, hingga
penyintas memberikan konstribusi agar tarik ulur RUU sejak tahun 2016 segera
disahkan jadi undang-undang.
Pengaturan perkosaan sebagai tindak pidana kekerasan
seksual, menurut Ira Imelda, penting untuk dimasukan ke dalam RUU TPKS.
Pertimbangannya merupakan tindak kekerasan yang paling sering terjadi dengan
menggunakan modus, cara, dan alat yang menimbulkan dampak berkepanjangan pada
kelangsungan hidup para korbannya.
Kekerasan seksual bisa menimpa siapa saja, termasuk kelompok
rentan, seperti anak-anak, dan penyandang disabilitas. Korban rata-rata dalam
keadaan tidak berdaya, orang yang tak sadarkan diri atau orang dalam keadaan
pingsan, koma, dan atau keadaan dimana tidak memiliki kapasitas atau kompetensi
untuk memberikan persetujuan.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan menunjukkan, sepanjang 2021
terdapat 2.363 kasus kekerasan seksual di ranah personal, dengan 597 kasus
merupakan perkosaan. Padahal dalam ranah kekerasan seksual berlaku fenomena
gunung es di tengah Samudra.
Dalam naskah akademik RUU TPKS, tujuan RUU TPKS adalah
terwujudnya peraturan perundang-undangan tentang penghapusan kekerasan seksual.
Pada akhirnya akan menjadi undang-undang yang bersifat khusus (lex specialist
derogate lex generali) terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
selama ini berlaku.
Pengakuan itu dikuatkan melalui konsideran RUU TPKS poin C.
Bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekerasan seksual
belum optimal dalam memberikan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan
pemulihan. Belum memenuhi kebutuhan hak korban TPKS, serta belum komprehensif
dalam mengatur mengenai hukum acara.
“Ini mengindikasikan sejak awal RUU TPKS dibentuk sebagai
optimalisasi pengaturan kekerasan seksual, tak terkecuali pengaturan pasal
perkosaan yang diatur dalam KUHP,” tegasnya.
Sedangkan pengaturan tindak pidana perkosaan dalam KUHP,
belum sepenuhnya memiliki keberpihakan terhadap korban. Di sana hanya
mengakomodasi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual dalam bentuk penetrasi
penis ke vagina, yang dapat dibuktikan dengan bukti-bukti kekerasan fisik
akibat penetrasi. Padahal dalam banyak kasus yang dialami korban jauh dari apa
yang dipahami spesifik dalam pasal 285 KUHP tersebut.
Meskipun kejahatan perkosaan dalam KUHP diatur dalam Pasal
285-288 KUHP, namun kata “perkosaan” hanya ada dalam Pasal 285 KUHP. Sedangkan
pasal-pasal lainnya menggunakan kata “bersetubuh.”
Kata “bersetubuh”, menurut R Soesilo, mengacu Arrest Hooge
Raad 5 Februari 1912, peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan
yang dijalankan untuk mendapatkan anak. Jadi kemaluan laki-laki harus masuk ke
dalam kemaluan perempuan sehingga mengeluarkan mani. Apabila syarat tersebut
tidak terpenuhi maka tindakan itu beralih menjadi perbuatan cabul.
Berangkat dari pendapatnya R Soesilo tersebut, kasus
perkosaan dengan ragam bentuk cara, modusnya, dan kondisi tertentu akan sulit
dijerat menggunakan kerangka hukum yang ada. Karenanya sulit dipahami jika RUU
TPKS tidak mengatur perkosaan, pada saat yang sama fakta dan keberadaan norma
dalam KUHP tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual.
Meski ada semangat DPR dan Pemerintah akan mengatur tindak
pidana perkosaaan ke dalam RKUHP, namun tidak ada jaminan pengaturan Perkosaan
dengan ragam jenis, cara, modus dan tujuannya sama seperti diharapkan di dalam
RUU TPKS. Mengingat kerigidan pengaturan dalam RKUHP lebih banyak mengarah
persoalan kejahatan pada umumnya.
Substansi pasal perkosaan dalam RUU KUHP diatur lebih umum,
dikarenakan konsepsi pembahasan RKUHP lebih kepada pokok-pokok pembahasan pada
hukum pidana materiil. Di samping pembahasan RKUHP masih membutuhkan cukup
waktu, justru pembahasan mengenai pasal tentang perkosaan dalam RUU RKUHP akan
sangat sulit dibahas secara paralel sebagaimana dalam RUU TPKS.
“Masalah itu segera kami sampaikan kepada DPR dan
pemerintah,” tegas Ira Imelda Panjang lebar.
Salah satu tujuan dari RKUHP adalah adaptasi, dan
harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi akibat perubahan
pengetahuan, nilai, standar, serta norma yang diakui dunia internasional. Namun
demikian tidak ada jaminan spesifik hak-hak korban perkosaan secara khusus,
mengingat RKUHP lebih menegaskan pengaturan dalam tindak pidana yang bersifat
umum.
“Bukan bertolak dari rambu-rambu pidana khusus yang belum
ditegaskan secara jelas, sebagaimana yang diusulkan pasal Perkosaan dalam RUU
TPKS,” tegasnya.
Secara subtansi pengaturan perkosaan dalam RKUHP dan RUU
TPKS terlihat banyak perbedaan mendasar. Dalam RKUHP disebutkan perkosaan:
“Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan…”, dan dalam RUU
TPKS usulan masyarakat sipil disebutkan, “Setiap orang yang melakukan perbuatan
dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, atau
penyalahgunaan kekuasaan, atau
menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan untuk
melakukan hubungan seksual, dengan memasukkan alat kelaminnya, bagian tubuhnya,
atau benda ke alat kelamin, anus, mulut, atau bagian tubuh orang lain…”.
Dalam RKUHP tidak disebutkan secara jelas intensi
persetujuan korban, konsepsi pemberatan tertentu 1/3, jika perkosaan dilakukan
dengan subjek yang memiliki relasi kuasa secara detail atau dilakukan juga
melalui transaksi elektronik. RKUHP juga tidak menegaskan adanya hak korban
ketika terjadi perkosaan, dan hal ini akan berdampak terhadap layanan hak
korban, khususnya ketika korban mengakses hak atas penanganan, pelindungan, dan
pemulihan dari perkosaan.
“Dari catatan tersebut, kami mengusulkan agar tindak pidana
perkosaan dipertimbangkan untuk diatur secara khusus dalam RUU TPKS,” kata Ira
Imelda seraya menambahkan, “Jangan sampai kita kehilangan kesempatan untuk
memberikan jaminan, dan kepastian hukum bagi korban perkosaan.”
Pada bagian lain JMS dan FPL mengakui adanya bebereapa
capaian dari proses RUU TPKS. Diantaranya, telah masuk beberapa bentuk tindak
pidana kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual
fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan,
kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual,
dan perbudakan seksual.
Termasuk juga masuknya peran lembaga penyedia layanan
berbasis masyarakat dalam proses pendampingan dan perlindungan korban kekerasan
seksual. Dengan demikian pemerintah harus memastikan kehadiran penyedia layanan
berbasis masyarakat dalam pembentukan Pusat Layanan Terpadu. Adanya victim
trust fund atau dana bantuan bagi korban kekerasan seksual yang merupakan
kompensasi negara kepada korban.
Capaian lainnya adalah adanya ketentuan tentang hak korban,
keluarga korban, saksi, ahli, dan pendamping. Hal ini merupakan upaya untuk
memastikan pemenuhan hak korban dalam mendapatkan keadilan dan pemulihan, sekaligus memberikan
perlindungan bagi keluarga, saksi, ahli dan pendamping korban. (tbu)
Komentar
Posting Komentar