Hitam Putih Perkawinan Anak di Tuban (1)

SuaraBanyuurip.com - Teguh Budi Utomo

 

Kemiskinan menjadi kambing hitam disaat angka permintaan dispensasi nikah naik. Data lapang menyebut 80 persen pernikahan anak berakhir cerai.

"Alhamdulillah, saya sekarang sudah bebas. Tidak menderita lagi,” ujar Indri, bukan nama sebenarnya, saat ditemui di lapak Es Degan tak jauh dari Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Tuban, Jawa Timur awal bulan Juni 2022 lalu.

Ibu satu putra asal salah satu desa di Tuban itu menikah di usia dini, di bawah 18 tahun, sekitar 10 tahun silam. Untuk menyikapi UU Perkawinan yang menyaratkan usia nikah minimal 19 tahun, ia meminta dispensasi nikah. Pernikahan dengan sang kekasih yang kala itu berumur 20 tahun pun tergelar.

Siapapun kalau bisa memilih, ungkap Indri dalam Bahasa Jawa, tak ingin rumah tangganya bubar. Akan tetapi kemelut rumah tangganya bertubi-tubi sejak sebulan menikah, menjadikan gugat cerai sebagai pilihan. Memang pahit namun itu yang terbaik, ketimbang saban hari harus menanggung derita tak berujung.

Ketidakdewasaan pasangan itu makin menjadikan nasibnya terpuruk. Mereka tinggal di rumah mertua yang berprofesi sebagai petani dengan ladang tak luas. Suaminya yang tak memiliki pekerjaan tetap, makin menjadikan masalah demi masalah menyatroni mereka.

Mulai dari Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan sang suami, campur tangan mertua yang menyalahkan dirinya, hingga tak diberi nafkah oleh suaminya menjadikan pertengkaran kian akut. Ribut mulai dari masalah mengasuh anak, hingga belitan ekonomi, seakan menjadi bagian dari hidupnya sejak akad nikah.

“Saya sudah tidak kuat, Pak. Makanya aku njaluk pegat (minta cerai),” tambahnya seraya menghabiskan isi gelas tinggal seperempat.

Kasus yang menimpa Indri, tak jauh berbeda dengan rata-rata keluarga dari penikahan anak lain di Bumi Ranggalawe. Sebagian besar rumah tangga hasil perkawinan anak berujung perceraian. Itu pun sebelumnya diwarnai beragam tindak kekerasan, penelantaran, hingga padu (ribut) setiap hari sejak serumah karena beragam persoalan.

Data dari Pengadilan Agama (PA) Tuban menyebut, sepanjang tahun 2020 kasus perceraian di Bumi Ranggalawe sebanyak 2.394, dan di tahun 2021 sebanyak 2.268 kasus. “Sedangkan yang banyak melakukan gugatan cerai adalah perempuan,” papar Panitera Muda Hukum PA Tuban, M Nur Wachid, kepada sejumlah wartawan.

Sesuai temuan Kantor Kementrian Agama (Kemenag) Tuban, faktor penyebab terjadinya perceraian paling banyak adalah masalah ekonomi. Kemiskinan masih menjadi faktor yang mendominasi terjadinya gugat cerai.

“Faktor ekonomi, dan perselisihan atau pertengkaran yang terus-menerus jadi penyebab dominan terjadinya perceraian,” kata Kepala Kantor Kemenag Tuban, Dr Ahmad Munir M.Hum.

Selain itu, ungkap Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat (Kasi Bimas) Islam Kantor Kemenag Tuban Drs Mashari MA, pemantik perceraian di daerah yang masuk lima besar kabupaten/kota termiskin di Jawa Timur ini, salah satu diantara pasangan meninggalkan tanggung jawab sebagai suami atau istri, KDRT, penyakit sosial seperti mabuk, judi, poligami, dihukum penjara, dan kawin paksa.

Tingginya angka perceraian tak bisa dilihat dari sisi setelah kejadian. Menelaah problema itu musti melihat pula akar masalahnya, karena problema sosial cenderung saling bertaut satu dengan yang lain.

Bila kemiskinan dianggap sebagai penyebab dominan, menurut Direktur Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) Tuban Tsuwarti, berarti ada yang kurang tepat dari program pemberantasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait lain. Pun stakeholder swasta dalam program pemberdayaan masyarakat di desa-desa sekitar industri.

Dalam perspektif lembaga pendamping perempuan dan anak ini, perceraian yang terjadi juga dampak dari pernikahan anak. Sesuai UU Nomor: 16 tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, batas minimal menikah adalah 19 tahun. Sedangkan yang disebut anak, sesuai UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, adalah mereka yang berumur hingga 18 tahun.

“Rata-rata terjadinya pernikahan anak, lantaran dengan berbagai faktor anak bisa meminta dispensasi nikah,” papar perempuan aktifis yang lembaganya konsentrasi pada bidang pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak dari tindak kekerasan itu.

Warti, demikian perempuan aktifis ini akrab disapa, mengakui, regulasi membolehkan dan mengatur tentang dispensasi nikah. Jika Kantor Urusan Agama (KUA) menolak melayani permohonan nikah karena usia belum cukup, sesuai UU Perkawinan, mereka bisa mengajukan dispensasi nikah. Dibeberapa kasus yang tak terekspose media, dispensasi ada yang terjadi lantaran calon mempelai sudah hamil dulu sebelum nikah.

“Banyak faktor yang menjadi penyebab pernikahan anak, mulai dari kemiskinan, kultural, hingga pendidikan, dan hal itu bila dirunut saling bertautan,” ungkap Warti saat dikonfrontir di Sekretariat KPR Tuban di kawasan Kelurahan Perbon, Kecamatan Tuban (Kota).

Dari sisi kultural, disejumlah titik wilayah pedesaan Tuban, keluarga akan malu jika punya anak perempuan sudah besar belum menikah. Mereka akan digunjingkan sebagai perempuan tak laku. Kultur seperti itulah yang juga menjadi penyebab terjadinya pernikahan anak.

Di daerah dengan penduduk 1.198.012 jiwa (per September 2020-BPS Tuban), Kemenag Tuban mencatat angka permintaan dispensasi nikah tahun 2020 sebanyak 401 pemohon. Setahun berikutnya (2021) sebanyak 184, dan tahun 2022 hingga bulan Mei tercatat 77 pemohon.

“Mereka minta dispensasi karena faktor tingkat pendidikan, dan mainset orang tua di pedesaan kalau punya anak dewasa segera dicarikan jodoh,” papar Mashari.

Dari calon mempelai yang meminta dispensasi nikah, rata-rata juga berpendidikan SD dan SMP.  Terkadang juga akibat pergaulan bebas, sudah hamil dulu sebelum menikah.

“Sesuai data konseling yang kami lakukan terhadap perempuan hasil perkawinan anak, sebanyak 80 persen berakhir cerai,” sergah Tsuwarti secara terpisah.

Sebenarnya, tambah Mashari, jajaran Kemenag Tuban telah melakukan sosialisasi terhadap regulasi yang mengatur menikah minimal usia 19 tahun. Sekaligus mengedukasi orang tua agar merubah minset beraroma kultural tersebut.

“Sosialisasi tentang regulasi perkawinan, dan edukasi telah kita lakukan kepada masyarakat,” ungkap Mashari, tanpa menyebut berapa kali dalam sebulan program tersebut dilaksanakan, dan apa materinya.

Kendati demikian mengacu pada hasil konseling korban KDRT yang dilakukan KPR, sekalipun telah berumah tangga lebih dari 10 tahun, pernikahan anak mayoritas berakhir di Pengadilan Agama. Sepanjang tiga tahun terakhir lembaga Non Goverment Organization (NGO) ini telah mendampingi perempuan korban kekerasan sebanyak 152 kasus. Dari jumlah itu sebanyak 80 persen memilih cerai, ketimbang mempertahankan biduk rumah tangganya yang setiap saat diguncang gelombang.

“Bisa jadi mayoritas perempuan yang menggugat cerai suaminya di PA adalah hasil penikahan anak,” tegas Tsuwarti.

Tak keliru jika kemiskinan dianggap sebagai faktor dominan terjadinya perceraian. Di banyak kasus sesuai temuan KPR di lapangan, tak sedikit orangtuanya menikahkan anak perempuannya dengan alasan untuk meringankan beban keluarga. Pembiayaan kehidupan anak perempuan yang sudah menikah menjadi tanggungan suaminya, atau orang tua sang suami.

“Tragisnya lagi jika suaminya belum memiliki pekerjaan, dan mereka dari keluarga yang miskin pula,” demikian urai Tsuwarti. (teguh budi utomo/bersambung)

 

https://www.suarabanyuurip.com/headline/read/465186/hitam-putih-perkawinan-anak-di-tuban-1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narkoba Marak di Tuban Akibat Minimnya Akses Informasi Pemerintah

LBH Soroti Dispensasi Nikah Pelaku Pencabulan Anak Kiai

DPRD Tuban Siapkan Jaring Protap Pemohon Diska (1)