Narkoba Marak di Tuban Akibat Minimnya Akses Informasi Pemerintah
Suarabanyuurip.com
- Teguh Budi Utomo
Tuban – Kasus penyalahgunaan narkotika dan
obat-obatan terlarang (Narkoba) di wilayah Kabupaten Tuban, Jatim masih marak.
Terbukti saat ini terdapat lima dari 20 wilayah kecamatan di Bumi Ranggalawe
masuk zona merah, dan tujuh kecamatan zona kuning Narkoba.
Lima zona merah adalah Kecamatan Jenu, Tuban,
Semanding, Palang, dan Kecamatan Widang. Sedangkan zona kuning yang belakangan
sudah terendus kemasukan barang terlarang tersebut adalah Kecamatan Plumpang,
Rengel, Soko, Grabagan, Parengan, Merakurak, dan Kecamatan Tambakboyo. Delapan
wilayah kecamatan lainnya masih kategori zona hijau.
Sesuai temuan lapang dari LBH KP Ronggolawe Tuban,
hal itu terjadi akibat minimnya akses informasi berbasis hukum dan kesehatan
yang diselenggarakan pemerintah. Selain juga terlibat dalam Narkoba dianggap
solusi jalan pintas untuk peningkatan ekonomi keluarga, dari daerah yang
termasuk lima besar kabupaten termiskin di Jatim tersebut.
Demikian ungkap Lawyer dari LBH KP Ronggolawe,
Khoirun Nasihin SH MH, dalam acara Penyuluhan Hukum UU 16 tahun 2011 tentang
Bantuan Hukum dan Upaya Preventif Penyalahgunaan Narkoba, di Lantai 3 gedung
Pemkab Tuban, Selasa (11/10/2022).
Selain Khoirun Nasihin, perhelatan berbasis hukum
yang dipandu moderator Direktur LBH KP Ronggolawe Nunuk Fauziah ini,
menghadirkan narasumber dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Sunarto Sp.di. MH,
dan dua dari Kanwil Kemenkum HAM Jatim, Gatot Sunarto SH dan Sukristiyanto.
Kegiatan yang digelar LBH KP Ronggolawe bersama
Kanwil Kemenkum HAM Jatim yang didukung Pemkab Tuban, dan BNNK Tuban itu,
diikuti 100 peserta dari unsur kepala desa, kecamatan, akademisi, LBH, Forum
Anak Tuban, jajaran Pemkab Tuban, Polres, BNNK Tuban, Ormas, LSM, dan organisasi
pers itu berlangsung lancar.
Dengan mengacu pada temuan lapangan pula, Nasihin,
begitu advokad muda itu akrab disapa, menambahkan, motivasi lain menjadi
pengguna Narkoba dianggap sebagai tiket masuk kelompok sosial tertentu sebagai
gaya hidup. Termasuk anggapan bahwa Narkoba sebagai solusi ketika ada masalah,
dan tuntutan pekerjaan untuk menambah stamina.
“Situasi Tuban yang zona merah sudah benar-benar
darurat Narkoba, bisa jadi ini akibat berlakunya fenomena supply demand. Begitu
banyak permintaan, penjual akan berebut mensuplainya,” tegas pengacara asal
Palang itu panjang lebar.
Mantan aktifis PMII itu mengungkapkan, minimnya akses informasi berbasis hukum dan kesehatan dari pemerintah kian memantik melonjaknya kasus Narkoba. Ia contohkan, ada sosialisasi tentang bahaya Narkoba, namun setelah sosialisasi kalau ada kasus tak ada pendampingan dari pemerintah secara masif. Baik itu dalam bentuk pendampingan hukum, maupun pendampingan medis dan saat rehabilitasi sosial. Hal itu berdampak pada rendahnya pemahaman masyarakat terkait lapisan bahaya Narkoba.
Gatot Sunarto dari Kanwil Kemenkum HAM Jatim saat menjelaskan materi tentang Bantuan Hukum dalam kegiatan Penyuluhan Hukum UU 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum di Tuban. (Suarabanyuurip.com/tbu)© 2022 suarabanyuurip.com/Teguh Budi Utomo
Sejatinya pemerintah pusat telah memberikan anggaran
untuk bantuan hukum, sebagai pelaksanaan UU 11 tahun 2011 tentang Bantuan
Hukum, melalui Kemenkum HAM. Untuk daerah Jatim, kata Gatot Sunarto dari Kanwil
Kemenkum Ham Jatim, angkanya untuk tahun 2022 sebesar Rp6 miliar, namun terkena
refokusing untuk pemberantasan Covid 19 hingga tersisa Rp3 miliar.
Bagi Gatot Sunarto, anggaran yang ada di lembaganya
jangan dilihat dari jumlahnya saja. Jika sudah didistribusi ke OBH baik yang
terkategori OBH C dengan jumlah anggaran Rp20 juta per tahun, B sebesar Rp40
juta, dan C sebesar Rp50-60 juta per tahun, jumlahnya juga bisa dibilang kurang
dibanding perkara yang muncul di masyarakat.
“Sesuai regulasi anggaran itu diberikan kepada warga
yang berperkara hukum melalui 65 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) di Jatim yang
telah terakreditasi Kemenkum HAM,” kata Gatot. “Kalau OBH masih terdaftar tapi
belum terakreditasi tak bisa melakukan program bantuan hukum.”
LBH KP Ronggolawe adalah OBH yang terakreditasi di
Kemenkum HAM. Termasuk dua lembaga lain yakni LBH Posbankummadin, dan LBH
Yudistira. Sayangnya LBH Universitas Sunan Bonang (Unibon) yang semula
terakreditasi dicabut statusnya, karena tak memenuhi target kinerja yang
disyaratkan Kemenkum HAM.
Program pemberian biaya bantuan hukum gratis ini
menjadi bukti, jika pemerintah ada di samping warga disaat mereka terkena kasus
hukum. Sedangkan perkara yang dibiayai oleh negara adalah perceraian dan
Narkoba.
Syarat OBH pemberi bantuan hukum, diantaranya,
berbadan hukum, terakreditasi Kemenkum HAM berdasar UU 16 tahun 2011, memiliki
kantor atau skretariat tetap, memiliki pengurus, dan memiliki program bantuan
hukum.
Sedangkan Sunarto dari BNN menyatakan, pasar Narkoba
di Indonesia sangat tinggi sehingga menjadi incaran para pemasok luar negeri.
Kasus pidana penyalahgunaan Narkoba saat ini menduduki angka tertinggi dengan
prosentase 80 persen secara nasional.
Kasi Inteligen BNNP Jateng ini menambahkan, berbagai
cara ditempuh oleh pemerintah untuk menaggulangi kasus tersebut. Termasuk pula
dibukanya ruang untuk restorative justice bagi pelaku pidana itu, setelah
rangkaian penindakan yang diterapkan belum membuahkan hasil maksimal.
Selain itu, UU 35 tentang Narkotika mengamanatkan,
pecandu dan korban penyalahgunaan Narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis,
dan rehabilitasi sosial. Mereka bisa tak menjalani hukuman pidana setelah
memilih rehabilitasi, dan ini seringkali dipakai untuk restorative justice.
Mereka ditangani oleh OBH pendamping dengan biaya dari pemerintah selama
menjalani rehabilitasi.
“Rehabilitasi ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan
penjara, karena disetarakan dengan penjara. Mereka tak bisa kemana-mana selama
menjalani rehabilitasi,” kata Sunarto.
Sebagai OBH terakreditasi Kemenkum HAM, LBH KP
Ronggolawe sepanjang tahun 2004 hingga 2022 telah memberi bantuan terhadap
1.678 perkara tanpa biaya bagi yang didampingi. Kasus tersebut diantaranya,
Kekerasan Terhadap Perempuan, Kekerasan Terhadap Anak, Kekerasan Terhadap
Istri, Perkosaan, Pelecehan Seksual, Kekerasan Dalam Pacaran, dan Kekerasan
Dalam Keluarga (KDRT). Korbannya rata-rata dari keluarga miskin.
“Semua kasus yang kita tangani tersebut tak berbiaya
alias gratis,” tegas Direktur LBH KP Ronggolawe Nunuk Fauziah saat menjawab
pertanyaan peserta kegiatan terkait 1.678 perkara yang ditanganinya.
Sekalipun secara resmi telah diundangkan UU 16 tahun
2011, timpal Nasihin, hingga tahun 2022 ini Kabupaten Tuban belum memiliki
Perda Bantuan Hukum. Hal tersebut berpengaruh pada tidak adanya anggaran dari
Pemkab Tuban khusus untuk Bantuan Hukum bagi warganya. Tentunya di dalamnya
termasuk 192,58 ribu jiwa warga miskin, sesuai data dari BPS Tuban per Maret
2021. Angka itu naik sebanyak 5,44 ribu jiwa dari tahun sebelumnya (2020)
jumlahnya sebanyak 187,13 jiwa.
Sementara kasus Narkoba di Tuban, tak hanya
menimbulkan korban dari golongan ekonomi bagus. Peredaran obat terlarang
tersebut sudah menembus berbagai lapisan masyarakat dari berbagai strata
sosial, termasuk di dalamnya warga miskin.
“Yang menjadi kekhawatiran kami adalah jika kasus
Narkoba ini sampai melibatkan anak-anak dan perempuan, dampaknya bakal makin
panjang hingga masa depan mereka tak menentu,” papar Nasihin.
Sisi itulah yang makin menjadi keprihatinan para
pelaku bantuan hukum terhadap pecandu maupun pengguna Narkoba. Apalagi anggaran
bantuan hukum dari Pemkab juga ada karena belum adanya regulasi daerah yang
mengatur problema tersebut. (tbu)
https://www.suarabanyuurip.com/sosial-politik/read/476358/narkoba-marak-di-tuban-akibat-minimnya-akses-informasi-pemerintah
Komentar
Posting Komentar