DPRD Tuban Siapkan Jaring Protap Pemohon Diska (1)
Suarabanyuurip.com
- Teguh Budi Utomo
Tuban -
DPRD Tuban segera menyiapkan skema memperketat permohonan Diska bila
terindikasi terjadi kekerasan seksual. Diarahkan keterlibatan multistakehoder
untuk merumuskan protap bagi pemohon Diska.
Demikian benang merah yang bisa ditarik dari
audensi LBH Koalisi Perempuan Ronggolawe (KP Ronggolawe) Tuban dengan Komisi IV
DPRD Tuban, di awal September 2022. Dewan mempertimbangkan fakta kasus
pernikahan anak, yang diawali dengan permohonan Dispensasi Nikah (Diska), di
Bumi Ranggalawe dalam dua tahun terakhir angkanya melambung naik hingga 200
persen.
Rapat Kerja (Raker) Komisi Dewan itu melibatkan
Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A)/Pusat
Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Unit Pelayanan
Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Tuban, Kemenag Tuban, Dinas Kesehatan, Dinas
Pendidikan, dan LPA Tuban.
“Kami berterima kasih dan mengapresiasi respon
cepat dari DPRD Tuban, kasus pernikahan anak yang diawali dengan Diska sangat
mengkhawatirkan,” kata Direktur LBH KP Ronggolawe Tuban, Nunuk Fauziah.
Mengulik data yang dimiliki lembaganya, Nunuk
Fauziah menyatakan, angka pemohon Diska di Tuban belakangan cenderung tinggi.
Pada tahun 2021 jumlah pemohon Diska mencapai 184 perkara, sedangkan pada tahun
2022 dari bulan Januari hingga Juli 2022 berjumlah 356 perkara.
Selain dibutuhkan skema yang tepat dalam menangani
anak perempuan korban kekerasan seksual, kemudian berakhir pernikahan anak yang
rentan terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan ujungnya pelaku
kekerasan terhadap anak terlepas dari jerat hukum.
“Jangan menganggap setelah melakukan tindak pidana
kekerasan seksual, pelakunya terbebas dari jerat hukum dengan cara menikahi
korban,” ujar Nunuk Fauziah, “apalagi fakta di lapangan menyebut hampir 80
persen pernikahan anak berakhir pada perceraian.”
Di ranah hukum kekerasan seksual bukan delik aduan.
Siapapun yang mengetahui bisa melaporkan. Hal tersebit dijamin oleh UU 12 Tahun
2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Komisi IV DPRD Tuban bersama LBH Koalisi Perempuan Ronggolawe (KP Ronggolawe) foto bersama usai audensi.
© 2022 suarabanyuurip.com/Teguh Budi Utomo
Ketua Komisi IV DPRD Tuban, Tri Astuti, mafhum
dengan kondisi terkini di lapangan. Perempuan politisi dari Partai Gerindra itu
menilai, jika permasalahan pernikahan anak memiliki dampak luar biasa bagi anak
perempuan.
Komisi IV juga tak sepakat dengan munculnya
rekomendasi-rekomendasi terkait pengabulan Diska tanpa pertimbangan kuat. Bila
hal itu dibiarkan bakal mempertebal angka anak putus sekolah.
“Saya khawatir adanya Diska menyebabkan tingginya
angka stunting, kematian ibu dan bayi, masalah sosial dan KDRT. Masalah ini
menjadi atensi serius Komisi kami,” tegas Tri Astuti.
Legislator dari Dapil Kecamatan Pumpang, Widang,
dan Kecamatan Palang ini menegaskan, jangan berharap kasus kekerasan seksual
bila dikabulkan memohon Diska kemudian dianggap menyelesaikan perkara. Meskipun
telah mendapatkan Diska dari Pengadilan Agama (PA), namun kasusnya tetap harus
diselesaikan secara pidana.
Pada bagian lain, Nunuk Fauziah menambahkan, kasus
kekerasan seksual dengan korban anak perempuan di ranah pendidikan, baik Tempat
Kejadian Perkara (TKP) di pondok pesantren maupun tempat lainnya, dalam kurun
dua tahun terakhir sangat mengkhawatirkan.
Bagi perempuan aktifis pemberdayaan perempuan dan
anak ini, esensi problemnya bukan tentang berapa angka atau datanya, namun
kekerasan seksual di Tuban telah terjadi. Kasus ini juga berlaku fenomena puncak
gunung es di tengah samudra.
Hasil investigas dan advokasi KP Ronggolawe
menemukan fakta, kasus kekerasan seksual dengan korban anak seringkali
diselesaikan dengan cara mengkawinkan korban dan pelaku. Sisi ini dianggap
sebagai jalur damai kekeluargaan, atau terkesan lambat penanganannya di tangan
Polres Tuban.
Ia contohkan, pertama; kasus kekerasan seksual di
Kecamatan Plumbang memberikan kesan yang tidak baik di mata masyarakat.
Memunculkan anggapan publik, jika kasus kekerasan seksual bisa diselesaikan
dengan mengawinkan korban dan pelaku. Maka pelaku akan lepas dari jeratan
hukum.
Kedua; kasus di Kecamatan Grabagan telah dilaporkan
ke Polres Tuban pada tahun 2021, tahun 2022 baru digelar perkaranya. Realita
lapangan itu mengesankan kasus kekerasan seksual dipandang sebagai hal biasa
saja, sedangkan derita yang ditanggung korbannya berkepanjangan tanpa akhir.
“Dua kasus yang kami contohnya itu, TKP-nya
sama-sama di lingkungan pondok pesantren dengan pelaku sama-sama guru ngaji dan
anak kiai,” urai Nunuk Fauziah.
“Dalam kasus kekerasan seksual di Plumpang, kami
telah memanggil beberapa saksi,” sergah Kanit UPPA Polres Tuban, Aiptu Narko,
di arena Raker Komisi IV tersebut.
Diantara saksi yang telah dimintai keterangan berasal dari pimpinan pondok pesantren, guru ngaji (ustadz) pondok, dan tetangga dari korban kekerasan seksual yang masih berumur 14 tahun. Mereka telah memberikan keterangan kepada UPPA Polres Tuban.
“UPPA belum bisa berbuat banyak karena korban tidak
mau diperiksa, bahkan kami diusir dari rumah oleh keluarga korban,” kata Narko.
Pihak Polres Tuban mempertimbangkan sisi
ketentraman lingkungan di sekitar TKP. Jika UPPA memberikan atensi bahwa
keluarga menghalangi upaya penyelidikan, maka dikhawatirkan akan menciptakan kegaduhan
di lingkungan sekitar.
Data dari Polres Tuban menyebut, sepanjang tahun
2022 UPPA menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak berjumlah 8 (delapan)
perkara. Satu kasus dari Desa Sumurjalak, Plumpang tapi dicabut, kasus dari
Desa Pliwetan, Kecamatan Palang sudah pada tahap penyidikan, tapi belum
melakukan penahanan terhadap pelaku. Sedangkan untuk kasus serupa di Kecamatan
Bancar, dan Kecamatan Kerek sudah dilakukan penahanan terhadap pelaku.
Sejumlah peserta Raker Komisi Dewan itu
mengeluarkan argumentasi terkait kasus kekerasan sekskual, berikut tawaran
solusinya. Akan tetapi, bagi Nunuk Fauziah, kesannya mereka mengambil jalan
simpel. Yakni, seakan-akan mengawinkan korban dengan pelaku merupakan solusi
yang tepat dan benar.
“Ini yang membuatkan kami sedih, dan ketakutan
untuk membayangkan 10 atau 20 tahun nanti anak korban kekerasan seksual telah
melahirkan anak,” kata Nunuk Fauziah seraya menambahkan, “kami tidak mengetahui
apakah anak-anak tersebut masih memiliki masa depan?” (teguh budi
utomo/bersambung)
https://www.suarabanyuurip.com/sosial-politik/read/467300/dprd-tuban-siapkan-jaring-protap-pemohon-diska-1
Komentar
Posting Komentar