Pandangan KPR Terhadap Lokalisasi Terselubung di Tuban
Tuban - Praktek prostitusi secara terselubung di Kabupaten
Tuban, Jawa Timur, khususnya di Ngomben, Desa Sukolilo, Kecamatan Bancar,
terjadi karena dampak/ imbas ditutupnya seluruh lokalisasi oleh pemerintah
setempat. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR)
mengira tidak hanya ditempat warung dan tempat karaoke, tetapi juga dilakukan
hotel, kost-kosan, maupun tempat yang lain.
"Pertanyaanya adalah apakah pemkab hanya berkonsentrasi
pada penutupanya saja dan mereka hanya diberikan bekalan pelatihan pendek
seperti membuat kue dan menjahit lalu dipulangkan?..," ujar Direktur
Eksekutif KPR Tuban, Nunuk Fauziyah, kepada suarabanyuurip.com, Selasa
(4/9/2018).
Nunuk menegaskan, jika itu benar maka harapan dan niat baik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tuban akan sulit terkabulkann. Perlu dipahami, dalam mengatasi Pekerja Seks Komersial (PSK) harus memahami akar masalah. Seperti temuan advokasi KPR adalah tentang kemiskinan (Faktor ekonomi keluarga yang rendah), korban kekerasan seksualitas, dan tranffiching.
Jika akar masalah tersebut tidak mampu didalami dan tidak
berkontribusi pada akar masalah tersebut, Nunuk khawatir mereka PSK malah
tereksploitasi yang kesekian kalinya. Dikarenakan, tidak ada satu pun perempuan
yang bercita-cita ingin memiliki pekerjaan sebagai PSK.
"Apalagi PSK adalah pekerjaan yang berisiko
tinggi," terangnya.
Dalam melakukan pekerjaannya, mereka berganti-ganti pasangan
dan melakukan hubungan seksual dengan banyak orang dan beresiko HIV, stereotype
atau cap negative yang melekat sampai mati. Ketika mereka ingin beralih profesi
ke bidang lain yang dipandang bermartabat oleh lingkungannya, masyarakat tidak
begitu saja menerima mereka. Hal ini mengakibatkan PSK mengalami kesulitan
untuk alih profesi ke bidang lain.
Aktivis kelahiran Lamongan ini, menjelaskan, ada beberapa faktor yang menjadikan seorang perempuan menjadi PSK. Pertama, Broken Home. Seperti adanya pihak ketiga atau bisa juga karena keduanya memang mempunyai sikap dan sifat yang tidak bisa disatukan lagi. Yang akhirnya keluarga tersebut memilih berpisah.
Jika sudah seperti itu maka yang paling merasakan dampaknya
adalah perempuan dan anaknya (bagi yang memiliki anak). Perempuan mengalami
depresi dan mudah tergoyah.
Kedua, faktor terbesar adalah ekonomi, dimana mereka sulit
mencari lahan pekerjaan atau tidak memiliki akses kesempatan pekerjaan. Mereka
akhirnya putus asa yang hanya ingin mencari uang lebih cepat untuk bertahan
hidup tanpa memikirkan dampak kedepanya.
Ketiga, traffickhing atau diperjual-belikan adalah
perdagangan manusia terdiri dari berbagai bentuk. Termasuk paksaan dalam
eksploitasi seksual komersial, pelacuran anak dibawah umur, jeratan hutang atau
kerja paksa dan lain sebagainya.
"Banyak perempuan yang diperjualbelikan demi keuntungan
dari pihak tertentu, ada yang menawarkan diri dan ada yang dipaksa,"
sambungnya.
Keempat, kurang adanya perhatian dari pemerintah dan posisi perempuan masih dinomor duakan atau masih ada anggapan sebagai konco wingkin.
Lebih dari itu, ada dua pilar yang harus di petakkan, yaitu
pertama usia anak perempuan dan kedua perempuan dewasa. Dengan adanya
Undang-Undang (UU) Perlindungan anak nomor 35 Tahun 2014 dimana dalam UU
tersebut membahas mengenai hak-hak anak yang mengacu pada Konvensi Perlindungan
Anak.
Dalam UU tersebut BAB I mengenai Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat 15 mengenai perlindungan khusus, dimana perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Dapat dilihat dari penjelasan UU diatas, bahwa anak yang
dilacurkan atau dieskploitasi secara seksual mendapatkan perlindungan khusus
yang diatur oleh pemerintah dan lembaga Negara. Yang dilakukan melalui,
penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual; pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan pelibatan berbagai
instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat,
dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi
dan/atau seksual.
Kurangnya informasi akan mengenai pengaduan atau pelayanan
guna mengurangi perdagangan anak khususnya dalam perdagangan seksual anak ini
juga membuat masyarakat kurang paham mengenai Eksploitasi Seksual Komersial
Anak.
Seharusnya pemerintah memberikan informasi kepada masyarakat secara menyeluruh hingga sampai ke pedesaan RT/RW melalui penyuluhan atau sosialisasi. Sehingga masyarakat pedesaan bisa memahami masalah ini dan ikut berpartisipasi dalam mengurangi angka perdagangan seksual anak.
Fundamental dari lokalisasi yakni perbudakan, tindakan
kriminal, eksploitasi dan perdagangan manusia. Dengan dalil apapun tempat
tersebut, tidak layak bagi perempuan apalagi usia anak. Harusnya perempuan
diberdayakan dan dibangun kemandirianya, serta diberikan akses dan peluang yang
selebar-lebarnya.
Program UEP diperuntukan bagi perorangan sebesar Rp3 juta
dan KUBE bagi kelompok yang terdiri dari 10 orang dengan bantuan sebesar Rp20
juta. Para perempuan bekas lokalisasi tidak hanya diselamatkan, tapi diberikan
penghidupan layak dan lebih manusiawi.
Tiga tugas Kemensos terkait penanganan perempuan bekas
lokalisasi prostitusi tersebut yaitu memberikan bantuan UEP, menyiapkan tiket
pulang kampung, serta memberikan jaminan hidup selama dua bulan.
Selain itu pula, tidak ada salahnya belajar dari Swedia soal
penanganan prostitusi dengan memberikan hukuman terhadap pelanggan, pelaku dan
mucikari. Artinya, ketiganya mendapatkan hukuman tegas dan sanksi sosial.
"Para Bupati dan Walikota agar pro-aktif dalam
penanganan prostitusi, dengan mendata perempuan dan menyiapkan mereka berbagai
program pemberdayaan," pinta Mensos.
‘Pelacur Mandiri’, program pemerintah Belanda bagi PSK agar
bisa bekerja dengan nyaman bertujuan memperbaiki Kondisi PSK. Proyek rumah
bordil dengan melibatkan pemerintah ini bertujuan agar para PSK bisa bekerja
tanpa beban, sebab bebas dari biaya setor kepada mucikari.
Diharapkan lambat laun hal ini akan memperbaiki kondisi
pekerja seks. Selain itu, tujuan program pelacur mandiri dibuat untuk
menyingkirkan kejahatan terorganisir yang membayangi industri seks di Belanda.
Program ini membuat mimpi PSK menjadi kenyataan. Program ini
dianggap sebagai mimpi yang menjadi kenyataan bagi para PSK di Amsterdam. Hal
ini diungkapkan oleh organisasi pekerja seks pertama di Belanda, mereka yang
menyatakan My Red Light adalah satu-satunya bisnis seks di Red Light District
Amsterdam yang dijalankan PSK tanpa naungan para mucikari.
Mereka pun senang program tersebut nantinya akan
memungkinkan PSK untuk mendapat panduan mengelola bisnis untuk mendukung
usahanya. Hal ini dilakukan oleh Rabobank, sebuah Bank Belanda yang akan
mengawal usaha para PSK.
Pemerintah Memberikan empat Gedung Rumah Bordir untuk Para
PSK, Eberhard van der Laan selaku Wali Kota Amsterdam merupakan orang yang
turut berjasa dalam pembukaan rumah bordil. Saat ini terhitung ada empat gedung
dalam rumah bordil yang diisi oleh sekitar 40 orang PSK.
Di tertibkannya satu mucikari dan tujuh PSK di Lokalisasi
Ngomben, Desa Sukolilo, Kecamatan Bancar waktu lalu, belum direspon oleh Wakil
Bupati Tuban, Noor Nahar Hussein. Pesan yang dikirimkan Suara Banyuurip sejak 1
September 2018 sudah dibaca, tapi belum dibalas. (Aim)
https://kumparan.com/suarabanyuurip/pandangan-kpr-terhadap-lokalisasi-terselubung-di-tuban-1536079512193073977/full
Komentar
Posting Komentar