Perempuan Bisa Jadi Pemimpin



 

Suwarti, S.Pd.(Ketua K.P.Ronggolawe)

''Kesetaraan gender  masih menjadi isu krusial.Nilai budaya patriarki menjadi penghalang bagi kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender.''

    Ketua Koalisi Perempuan Ronggolawe, Suwarti S.Pd,mengatakan, patriaki merupakan budaya tersistem dimana laki-laki ditempatkan sebagai pemegang kekuasaan utama, mendominasi dalam peran kepemimpinan dan penentu keputusan yang tiada tandingannya. Karena sistem patriarki telah ada sebelum islam di muka bumi, hingga pada proses dewasa ini , maka sangat sulit diubah atau bahkan ditinggalkan.

    Dikatakan, sebagian kelompok gender, yang bukan perempuan, merasakan kenyamanan dari budaya yang tersistem itu, lantas menempatkan perempuan pada posisi nomor dua dan mengondisikan tidak berdaya. Artinya, kesempatan perempuan untuk mendapatkan hak yang sama denga laki-laki, masih sulit untuk dicapai.

    Suwarti memberikan contoh, kesempatan dalam meraih peluang 30 persen baik dalam pelaksanaan atau penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) masih sangat jauh mendekati angka itu. Selebihnya, kaitannya dengan pendidikan, upah yang layak, akses, transformasi, informasi, jaringan, dan posisi strategis perempuan sulit untuk diwujudkan.

    ''Dari situasi semacam itu, maka muncul adanya relasi kuasa yang tidak seimbang, tentunya akan berkontribusi pada terjadinya tindak kekerasan dan ketidakadilan kepada perempuan,'' Ujar alumni Universitas PGRI Ronggolawe Tuban (UNIROW) ini. 

    Untuk itu, dalam memperjuangkan kesetaraan relasi gender antara perempuan dan laki-laki, dimana laki-laki sudah melekat dengan sistem budaya patriarkinya., maka bukan dengan cara melawan laki-laki atau memerangi budaya patriarki, karena perempuan (Aktivis perempuan) tidak membenci laki-laki, apalagi ingin menindas dan melawannya. Karena, hal tersebut malah bertentangan dengan apa yang sesungguhnya sedang diperjungkan, yaitu adanya kesetaraan gender.

    Dalam budaya patriarki tersebut, Koordinator Bidang Perempuan dan Anak pada Partisispasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak (PUSPA) Sri Huning ini, ingin menekankan pada ''patriarkinya'' dimana laki-laki seringkali merasa nyaman dengan hal itu.Sedangkan, dengan kelekatan patriarkinya ada banyak perempuan yang telah dikorbankan. 

    Disadarinya, patriarki terbentuk karena lingkungan sosial, mereka diajarkan untuk berperilaku, berpikir, dan bertindak tanpa adanya unsur-unsur kesetaraan dan non diskriminasi. Oleh karena itu, perempuan harus mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan saling mendukung, memmberikan semangat serta harus melihat kenyataan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin baik di sektor swasta maupun pemerintahan.

    Aktivis perempuan yang berdomisili di Kelurahan Karang Kecamatan Semanding ini menandaskan, seyogianya perempuan menyadari label yang diberikan oleh sosial bahwa menjadi perempuan harus patuh, tidak berdaya, cengeng, irasional, dan lebih mendahulukan rasa daripada pikiran, merupakan label yang dapat melemahkan perempuan sendiri. Karena, Allah SWT menciptakan perempuan dan laki-laki dalam keadaan setara dan hanya dibedakan pada kodratnya (reproduksi).

    ''bukankah dia dahulu setetes air yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian air itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan menyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki dan perempuan''. (Al Qiyamah 37-39)

Hak Perempuan

    Paralegal Organisasi bantuan Hukum (OBH) KPR ini juga berpendapat bahwa hak-hak perempuan telah diatur dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of all Forms of Descimination Against Women /CEDAW) dan telah meratifikasinya melalui Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi  Terhadap Wanita. Adanya ratifikasi CEDAW ini kemudian melahirkan UU mengatur tentang prlindungan, pemulihan dan kepastian hukum, antara lain UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), UU hak Asasi Manusia (HAM) dan Rancangan UU Penghapusan Kekerasan Seksual.

    Koordinator Bidang Advokasi Forum Masyarakat Madani (FMM) ini juga, menegaskan, bahwa hak perempuan sesungguhnya telah melekat pada dirinya semenjak dalam kandungan hingga dilahirkan menjadi manusia. Melekatnya hak tersebut ada dalam CEDAW dan telah meratifikasinya melalui UU RI Nomor 7 Tahun 1984 dimana mereka telah dijadikan jaminan hak perempuan, antara lain hak dalam perkawinan, keluarga, dan reproduksi, kehidupan publik dan politik, bidang pendidikan, kesehatan, dan hak perempuan di daerah terpencil untuk ikut serta dalam pembangunan.

    Sayangnya, budaya ketimuran telah memetakan soal kewajiban, khususnya kiprah perempuan di ranah domestik. Permpuan dipandang elok jika bisa ''macak,masak dan manak'' atau hanya berkutat di area ''dapur, sumur, dan kasur''.

    Perempuan bekerja diwilayah domestik hampir 24 jam tanpa adanya penghargaan taupun bayaran layaknya bekerja di ranah publik. Namun, sekarang dengan kecanggihan teknologi informasi, semua masyarakat tidak terkecuali mampu menjadikan media publikasi yang efesien dan sangat mudah untuk mempublikasi aktifitas, misalnya kampanye, diskusi, workshop bahkan melakukan aktivitas pekerjaan.

Diskriminasi Perempuan

Sehubungan dengan diskriminasinasi terhadap perempuan, dijelaskan, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Kabupaten Tuban tahun 2019 sebanyak 1.172.790 jiwa terdiri dari 579.389 laki-laki dan 593.401 perempuan. Meski jumlah permpuan melebihi laki-laki, akan tetapi jumlah keterlibatan perempuan yang ada dalam posisi strategis, baik di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab), masih jauh dari angan.

    Anggota DPRD Kabupaten Tuban periode 2019-2024 ada 50 orang, terdiri dari 7 perempuan dan 43 laki-laki atau belum memenuhi kuota 30 persen. Dalam lingkungan pemerintahan, Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD)  perempuan hanya 4 orang , yaitu Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah Desa dan Keluarga Berencana (Dispesmas KB), Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Tenaga Kerja. Sedangkan dari 20 Kecamatan, seluruh camat berjenis kelamin laki-laki.

''Artinya, kebijakan belum memiliki perspektif terhadap perempuan maupun serius dalam mengimplementasikan mandat keterlibatan 30 persen kuota perempuan, sehingga akan sulit untuk bisa mewujudkan kesetaraan gender,'' ujarnya.                                                                                                                                                                                       Konsisten

 KPR Tuban selama 17 tahun konsisten menyuarakan kesetaraan gender, antara lain mendorong lahirnya beberapa Praturan Daerah (PERDA) Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KekerasanPerda Nomor 3 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Perda Nomor 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Anak dan Perda Nomor 3 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

    Kiprah KPR di Tuban selama ini, antara lain bermitra dengan PT Semen Indonesia (SI) yang mampu menginisiasi 374 organisasi masyarakat setempat (OMS) yang mampu mengakses dana Corporate Social Responbility (CSR), dan sangat mengutamakan organisasi perempuan. Sekolah Paralegal untuk mahasiswa, Sekolah Paralegal Berbasis Perempuan Pesisir, serta praktik peradilan semu ''tata cara persidangan peradilan pidana'' yang bertujuan memberikan pemahaman dan kesadaran hukum bagi perempuan. Juga mendirikan 3 Pos bantuan Hukum (POSBANKUM) Perlindungan Perempuan dan Anak di Desa Socorejo, Kecamatan Jenu.

    ''Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada isu perempuan masih minim. KPR termasuk yang konsen pada isu perempuan dan anak,'' katanya.

Regulasi dan Pemerintah

    Secara regulasi, dinilainya bahwa pemerintah dan pihak-pihak terkait cukup berkomitmen dalam mewujudkan kesetaraan gender di Kabupaten Tuban. Hal ini dapat dilihat melalui Peraturan Bupati (PERBUP) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengarustamaan Gender dalam pembangunan dengan mebentuk forum-forum seperti PUSPA. Namun, dalam implementasinya belum bisa dirasakan secara maksimal oleh warga Kabupaten Tuban, khususnya perempuan.

    Selain itu, kebijakan masih belum sepenuhnya responsif terhadap isu-isu perempuan. Isu perempuan cenderung dikoncowingking-kan dan lebih mementingkan program bersifat fisik. Oleh karena itu, diharapkan agar Pemerintah Kabupaten (PEMKAB) Tuban benar-benar dapat mengimplementasikan perda-perda yang terkait perlindungan perempuan dan anak, penyelenggaraa pendidikan serta bantuan hukum bagi masyarakat miskin yang sampai saat ini masih belum bisa diakses oleh masyarakat, khususnya perempuan korban kekerasan. Demikian halnya dengan revitalisasi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan implementasi Perbup Nomor 51 tahun 2018 tentang Pengarustamaan Gender dalam Pembangunan.

Hari Perempuan Sedunia

    Dalam momen peringatan Hari Perempuan Sedunia tanggal 8 Maret, staf program Empowering Acces to Justice (MAJU) Wilayah Jawa Timur (JATIM)Tahun 2020 ini, mengingatkan tentang perjuangan kesetaraan, perlindungan dan keadilan bagi perempuan. Diharapkan, pemerintah segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini dinilai sangat dibutuhkan korban, sebagai wujud adanya kesetaraan dalam upaya memperoleh keadilan dan kepastian hukum karena kekerasan seksual juga termasuk bagian dari tindak kejahatan.ydh

Dikutip dari Majalah AKBAR ''Warta Tuban Bumi Wali'' Edisi Maret 2021






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Narkoba Marak di Tuban Akibat Minimnya Akses Informasi Pemerintah

LBH Soroti Dispensasi Nikah Pelaku Pencabulan Anak Kiai

DPRD Tuban Siapkan Jaring Protap Pemohon Diska (1)