Sekolah Paralegal Perlindungan Perempuan
Sisi
itu pula, menurut perempuan aktifis ini, menjadi penyebab perempuan
korban kekerasan tak mendapatkan layanan litigasi dan non litigasi.
Mereka tak melapor, atau bahkan malu untuk melaporkan tragedi yang
menimpanya.
Organisasi nirlaba non pemerintah satu-satunya di Bumi Ranggalawe yang berkonsentrasi pada bidang perlindungan perempuan dan anak terhadap kekerasan ini, tak surut pada bidang tersebut. Apalagi dari tahun ke tahun angka kekerasan yang masuk lembaganya trennya cenderung menaik.
Dalam kurun tiga tahun terakhir sebanyak 155 kasus ditangani oleh KPR Tuban secara mandiri. Angka tersebut jika dikawinkan dengan data dari Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Tuban, Pemkab Tuban, dan data dari RSUD Dr R Koesma Tuban tentunya akan lebih tinggi.
KPR sangta mafhum jika data kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti puncak gunung es di permukaan samudra. Lebih banyak yang bersikap diam dengan berbagai motivasi. Termasuk kultur yang mendedah jika wanita dikodradkan sebagai mahluk penurut, sekalipun harus memelihara kepedihan yang menimpanya.
“Artinya yang tidak melapor dan belum mendapatkan layanan litigasi maupun non litigasi, jumlahnya sangat banyak,” urai alumni Universitas PGRI Ranggalawe (Unirow) Tuban yang akrab disapa Warti itu.
Selain itu pengetahuan mereka tentang perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan masih terbilang minim. Perempuan cenderung terbentur kendala dalam mengakses keadilan melalui mekanisme hokum. Akibatnya bisa kehilangan hak-haknya, dan kesempatan atas sumber daya.
Meskipun sudah ada UU 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, sebagai wujud tanggung jawab Negara terhadap akses keadilan bagi masyarakat. Pada kenyataannya penegakan supremasi hukum yang dijalankan para penegak hukum, dan pelaku kekuasaan kehakiman di negara kita masih jauh dari rasa keadilan (justice of law). Terutama keadilan bagi perempuan dari masyarakat yang termiskinkan oleh keadaan. Hal ini menjadikan korban kekerasan belum mempunyai akses secara maksimal terhadap keadilan.
Tersebab itu, KPR Tuban mengadakan Sekolah Paralegal Berbasis Perempuan Pesisir. Program selama bulan Februari hingga Maret 2020 itu berkonsentrasi kepada peserta kaum perempuan.
“Ada enam kali pertemuan dalam Sekolah Paralegal berbasis perempuan ini,” kata Nurul Aini, akltifis KPR Tuban lain.
Sedangkan materi dalam pertemuan adalah Penyuluhan Hukum, Pemberdayaan Masyarakat, Gender Basic, Body Mapping, Konseling Dasar, Keparalegalan untuk memotret Peran dan fungsi paralegal. Termuask pula materi tentang hak dan kewajiban Paralegal, ruang lingkup Paralegal, prinsip-prinsip kerja Paralegal mengedukasi, dan upaya menciptakan pemerataan akses keadilan bagi masyarakat khusunya perempuan dan anak korban kekerasan, Praktik Peradilan Semu, dan Rencana Kerja Bersama.
“Kami berharap melalui Sekolah Paralegal komunitas mampu memberikan pendampingan hukum bagi perempuan korban kekerasan di luar pengadilan,” papar Ketua Kopri PMII Cabang Tuban itu.
Selain itu program social ini diharapkan, mampu memetakan daerah yang rawan mengalami tindak kekerasan. Termasuk memberikan informasi dan penyadaran kepada masyarakat, khususnya perempuan terkait dengan prosedur penanganan kasus perempuan dan anak korban kekerasan.
Di Desa Socorejo, Jenu terdapat 26 perempuan kader Paralegal yang telah mengikuti Sekolah Paralegal besutan dari KPR Tuban. Mereka diharapkan bisa berbuat banyak ketika ada kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menimpa warga desanya.
“Kami mengapresiasi Sekolah Paralegal dari KPR ini, sekaligus berterima kasih telah mengedukasi perempuan Socorejo memahami aturan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan,” kata Kepala Desa Socorejo, Zubas Arief Rahman Hakim SHI, dalam sambutannya sebelum praktik Persidangan Semu dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Laiknya persidangan sesungguhnya, tampak majelis hakim, penuntut umum, pembela, dan tentunya terdakwa dan saksi. Persidangan semu pun berjalan lancar, para kader Paralegal begitu antusias mengikuti setiap sesi persidangan yang dihadiri sedikitnya 50 orang itu. Tampak pula hadir Sekcam Jenu, Karang Taruna, BPD, Aisiyah, Fatayat, Muslimat, Ketua RT, dan kader Paralegal.
Kades Arif Rahman berharap, perempuan desanya yang menjadi kader Paralegal bisa menjadi sumber informasi tentang regulasi. Diantaranya, juga bisa member pengetahuan kepada perempuan lain tentang prosedur penanganan kasus kekerasan perempuan dan anak.
“Program ini akan kami lakukan terus menerus di sejumlah titik di wilayah Kabupaten Tuban,” pungkas Tsu Warti. (teguh budi utomo)
https://suarabanyuurip.com/kabar/baca/sekolah-paralegal-perlindungan-perempuan
Komentar
Posting Komentar