Diska Tinggi dan Potret Kontradiktif Penghargaan Kota Layak Anak di Tuban
Persoalan Dispensasi Nikah (Diska) untuk calon pengantin kategori usia anak masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemkab Tuban yang tidak kunjung selesai. Lebih tepatnya tidak pernah selesai. Dari tahun ke tahun persoalan yang sama terus muncul. Seakan tidak ada filter kebijakan yang bisa dilakukan pemkab.
Kurun tiga tahun terakhir ini misalnya. Angka Diska di Tuban terbilang cukup fantastis. Data yang dihimpun Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR) pada rentang 2019-2020, tercatat sebanyak 781 pengajuan diska yang kemudian melakukan perkawinan usia anak (PUA). Potret muram PUA itu seakan tidak kunjung berkurang.
Memasuki tahun 2021 dan belum genap satu semester ini, angka Diska sudah tercatat sebanyak 224 kasus permohonan, dari mulai Januari hingga April.
Kondisi ini tentu kontradiktif dengan penghargaan Kota Layak Anak (KLA) yang diterima Pemkab Tuban. Kok bisa? Ya wes lah..
Setidaknya, ada 24 indikator yang menjadi acuan dalam menentukan daerah sebagai Kota Layak Anak. Dan, dari 24 indikator tersebut harus mencerminkan implementasi atas 5 klaster subtantif Konvensi Hak Anak. Lima klaster itu meliputi pemenuhan hak sipil kebebasan anak; pemenuhan hak anak atas lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; pemenuhan hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan; pemenuhan hak anak atas pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya; dan terakhir perlindungan khusus anak.
Kok berat syaratnya? Tapi kok mudah dapat penghargaannya. Heuheu..
Apa iya semua klaster yang menjadi syarat untuk ditetapkan sebagai KLA itu sudah dilaksanakan. Sudah dipenuhi oleh pemkab setempat.
Hm. Baiqlah.
Yang sudah kadung jangan diungkit lagi. Yang sudah putus tidak perlu disambung lagi. Cari yang lain yang lebih bisa mengerti. Paan sih ini.
UU 16/2019 tentang perubahan atas UU 7/1974 tentang Perkawinan masih hangat dalam ingatan. Ada perubahan yang menitikberatkan pada usia pernikanan perempuan. Tujuannya, untuk melindungi hak-hak anak wedok. Dari yang semula 16 tahun direvisi menjadi 18 tahun. Tentu, harusnya ini bisa menjadi filter dalam mengendalikan laju permohonan Diska. Namun, faktanya tidak demikian. Laju permohonan Diska masih belum terkendali.
Tegas disebutkan dalam UU 35/2014 tentang perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlidungan Anak, perkawinan anak merupakan pelanggaran atas pemenuhan hak dan perlindungan anak itu sendiri. Juga Keputusan Presiden Nomor 36/1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak dan PERMA Nomor 5/2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin.
Dalam ratifikasi jelas disebutkan: Bahwa Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pun untuk capaian pembangunan yang berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs) 2015-2030 dalam tujuan kelima butir 5 point 3, yakni menghapuskan segala semua praktik-praktik yang membahayakan anak, seperti perkawinan anak.
Menurut laporan penelitian mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Pada laporan yang dirilis pada 2020 lalu menyebutkan, berdasarkan populasi penduduk, Indonesia menempati peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia. Sementara berdasarkan data laporan dari BPS diperkirakan sekitar 1.220.900 anak di Indonesia mengalami perkawinan anak.
Adapun data yang dimiliki KPR sejak 2004 sampai 2020, sudah ada 1.617 kasus terhadap perempuan dan anak yang didampingi KPR. Dan trennya terus mengalami peningkatan. Tentunya, masih banyak kasus yang tidak tercatat. Sebab, tidak semua kasus dilaporkan dan kelihatan ke permukaan.
Rerata kasus yang ditangani KPR ini merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga dan seksual. Dan, mereka para korban rerata menikah diusia muda.
Beberapa upaya memang sudah dilakukan oleh pemkab setempat. Namun, sering kali hanya tinggal formalitas. Gugur tugas diawal, dan di akhir semakin tidak jelas. Seperti halnya forum partisipasi publik untuk kesejahteraan perempuan dan anak (Puspas) yang sempat digagas oleh Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos-P3A). Di awal, seperti orang yang habis buka puasa—semangatnya luar biasa. Tapi lama-lama tidak jelas.
Nah, dengan masih banyaknya permohonan diska, hal ini memperlihatkan bahwa Pemkab Tuban belum bergerak secara nyata dalam melakukan kampanye dan sosialisasi UU 16/2019 tentang perubahan atas UU 1/1974 tentang Perkawinan dan UU 35/2014 tentang perubahan atas UU 23/2002 tentang Perlidungan Anak. Serta Keputusan Presiden Nomor 36/1990 tentang Ratifikasi Konvesi Hak Anak terutama kepada para aparat di tingkat kecamatan, desa dan masyarakat secara umum. Juga Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 5/2019 Tentang Pedoman Mengadili Dispensasi Kawin, terlihat masih lemah dijalankan.
Jelas ya.. Penghargaan KLA merupakan potret sebuah kabupaten/kota yang sudah berhasil melindungi hak-hak anak.
Lho gimana ini, kok di Tuban Diska dan kekerasan terhadap anak masih tinggi?
Hm. Baiqlah.(*)
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhevmWsFXXoc-LnKe4VL3jaqyl0-JuujRKqs2VGxjXHzsMqqjplp6b08o7OZQExIgwdi2teu6Sa2V0LoT6XUIA3KNqiUlen7x4V6eZZJDNCIomZm5x-yB1YJm0CjwJnx2uePgoOOinQYSI/s1280/man-68873_1280.jpg
Komentar
Posting Komentar