Luka Yang Tak Pernah Kering
Hati ku
teriris. Seorang gadis merebahkan tubuh mungilnya di sofa abu-abu, tepat di
sudut kanan depan ruang mediasi. Ruang harapan bagi setiap raga yang tak pernah
mendambakan perpisahan.
Alea,
tersemat nama itu di dada kanannya. Rambutnya dikepang dua, dengan hiasan pita
merah muda. Ia mengenakan seragam merah putih yang tampak sedikit kebesaran. Erat
ransel berwarna biru muda dipeluknya. Seperti ketakutan. Wajah lugunya tampak murung,
hampir menangis.
Ketika hendak
ku hampiri, seorang perempuan dewasa keluar dari ruangan berpintu kayu itu.
Rautnya tampak putus asa, matanya bekaca-kaca. Alea sontak berdiri, berlari
menghampirinya.
‘’Bunda,’’ serunya sambil memeluk
tubuh jenjang perempuan berhijab coklat itu.
Air mata
perempuan berkemeja putih itu tumpah. Tak terlontar sepatah kata pun dari bibirnya
yang merah merona. Kecupan penuh kasih sayang Ia curahkan pada putri kecilnya
itu.
‘’Ayah akan ikut kita pulang kan,
Bun?‘’
‘’Ayah masih ada urusan, sayang.‘’
Perempuan
berhidung mancung itu tertegun sejenak. Langkahnya tampak berat. Ia merogoh tas
jijingnya untuk mengambil sapu tangan berwarna jingga bermotif bunga-bunga. Air
matanya mengering terusap oleh sapu tangan itu.
‘’Mari kita pulang, sayang.‘’
Digenggamnya
jemari gadis berambut keriting itu, kemudian melangkah pergi menuju pintu
keluar. Rautnya tampak penuh tanda tanya. Tetapi Ia tetap terdiam, tidak banyak
bertanya. Mungkin merasakan, Ibunya sedang tidak baik–baik saja. Mereka
berjalan bergandengan, beriringan dengan hening.
Kembali
ku lanjutkan langkah menuju ruang sidang, tapi hati dan pikiran terpaku pada
Alea. Gadis kecil bermata bulat itu. Raut wajah sayunya masih membekas dalam
benak. Tapi harus sejenak mengurung pikiran, fokus menghadapi persidangan klien
ku pagi ini.
Kehadiran
senja kembali menemani kesendirian. Pelukan kabut menyelimuti kalbu, ku teguk
segelas coklat panas berlarut hawa dingin yang terus menusuk sekujur jiwa.
Kembali terbesit Alea.
Hari ini,
lima belas tahun lalu. Tubuhku berdiri di depan kalender. Tepat menghadap
pigura yang menyimpan foto mendiang Ibu. Perempuan yang perkasa menampung segala, bagai kukusan
setia menanak air mata.
Ibu duduk
dengan anggun berkebaya Jawa memancarkan wibawa, membalut lekuk tubuhnya yang
menawan. Sorot matanya sayu bersahaja. Senyumnya tersimpul seperti pelangi
pasca hujan, berseri dan menyejukkan. Paras anggun perempuan berkulit kuning
langsat itu semakin sempurna oleh geraian rambut hitam panjangnya.
Rambut
itu selalu mengingatkan diri ini pada Ayah, laki - laki yang seharusnya menjadi
cinta pertama bagi putrinya. Seseorang yang mampu menjadi perisai dalam hidup. Ironisnya,
sosok itu tak pernah kutemukan dalam diri Ayah.
Bila Laki-laki bertubuh kekar itu tak
berkenan, murka, bertengkar habis-habisan, rambut itu selalu dicengkeram, diayunkan
ke dinding hingga istrinya terbentur.
Ayah suka
lupa diri, menghantam Ibu bertubi - tubi. Tak puas dengan amukan, makian pun
terus terlontar, hingga akrab ditelinga ku seperti suara azan. Segala jenis
binatang Ia sebutkan, terangkai dengan umpatan-umpatan kasar yang menyakitkan.
Tak
jarang Ibu terkapar pingsan. Kala itu tak ada yang mampu kulakukan selain
menangis, merawatnya sampai siuman. Begitu tersadar, perempuan berlesung pipi
itu merintih kesakitan, mukanya lebam - lebam tetapi Ia tetap diam. Menghapus
air mata ku pasca menangis tersedu - sedu.
‘’ Ibu baik-baik saja Ndhuk,’’
panggilan sayang untuk putri semata wayangnya itu selalu terucap dari bibir
yang pucat pasi, menahan luka sayatan hati.
Peliknya,
Ibu selalu menerima kehadiran ayah. Tak sedikit pun rautnya menyiratkan amarah.
Tak pernah ada dendam dalam gestur tenangnya.
Seperti
hari biasa, setelah mandi keramas Ibu tetap bersolek, seperti tidak terjadi apa
- apa pada dirinya. Disisir rapi rambut panjang hitam itu, lembut dan harum
seperti kelopak mawar yang baru mekar.
Secangkir
kopi hangat melengkapi sambutan penuh cinta. Setiap Ayah pulang kerja, masakan
lezat selalu tersaji, walau kadang menyentuhnya pun Ia tak sudi. Ibu selalu
memperlakukan suaminya seperti raja, walau tak pernah dirinya diratukan.
Sebelum
menikah, Ibu adalah seorang penari yang dikagumi banyak lelaki. Rambut yang
hitam panjang tergerai itu menjadi saksi, betapa luwesnya Ia menari. Berapa
pasang mata yang terpana menikmati akrobat santun seorang Sri Panggung diiringi
syahdunya alunan gending jawa.
Ketika
aku beranjak dewasa, rambut Ibu tak terlihat panjang lagi. Setiap kali disentuh
sisir, rambut itu jatuh berhelai - helai dan makin menipis. Terpaksa dipotong sedikit
demi sedikit sampai rambut itu tak panjang lagi.
Kebiasaan Ayah menghajar Ibu semakin bengis.
Tamparan sudah menjadi hal yang biasa. Barang- barang berharga pecah berhamburan
di rumah. Tak ada bedanya rumah ku dengan kapal pecah.
Ayah
semakin gelap mata. Sampai suatu ketika aku tak tahan lagi.
‘’ Ayah! Jika Ayah terus memukul
Ibu, kan ku telepon polisi! ‘’
Laki-laki
berkumis tipis itu terdiam, suasana semakin mencekam. Sorot matanya tajam,
terbelalak tak sempat berkedip. Wajah ovalnya semakin merah, napasnya tersengal
- sengal seperti sedang mengambil ancang – ancang.
Kini Ia
akan menghajar. Tubuhnya siap memukul. Aku tak
surut. Menantang dalam hati. Rasa takut ini telah terkikis emosi.
Tamparan
Ayah mendarat mulus di pipi kanan ku. Ibu sontak menjerit, menangisi apa yang
terjadi pada putri tunggalnya. Aku tertegun, tak mampu mencerna apa yang telah
dilakukan laki-laki beralis tebal itu.
Ibu
menarik ku ke pelukannya, duduk bersimpuh di depan Ayah. Laki-laki itu seperti
pistol kehabisan peluru. Ia pergi dari rumah, meninggalkan anak istrinya. Tak
pernah pulang. Tinggal di rumah istri mudanya.
Tepat
tujuh belas tahun usia ku, kiriman surat dari pengadilan agama diterima Ibu.
Tangannya gemetar membuka amplop coklat itu. Raut wajahnya putus asa, tak bisa
menerima namun tak mampu berbuat apa – apa.
Perempuan
paruh baya itu tetap tersenyum tipis, meskipun air matanya mendidih. Ku hampiri
Ibu dengan langkah terbata – bata, Ia beranjak memeluk.
‘’ Selamat ulang tahun, Ndhuk.’’
Tubuh ini
spontan mendekap Ibu sambil menangis. Aku tak banyak berkata–kata. Masih tidak
percaya bahwa hari ini, hari ulang tahun ku adalah perpisahan bagi Ayah dan
Ibu.
Hati ku
hancur lebur, remuk tak berbentuk. Ingin berteriak meluapkan segala beban, tapi
rasanya tak mampu. Bibir ini terkunci bersama air mata yang tak surut.
Aku
merasa sangat terpukul atas perpisahan itu, tidak ada keadilan yang mengarah
pada diriku. Di usia yang masih belia, hidup menuntut bersikap dewasa.
Sejak
saat itu hidup ku mengalami banyak goncangan, tapi raga ini terus berjuang
untuk bertahan. Pelajaran hidup berharga, tiga kata yang dapat kupetik dari
perpisahan pahit ini. Semoga Alea juga begitu.
Sejak
saat itu kami memulai lembaran baru. Ibu bekerja banting tulang untuk menyambung
hidup dan membiayai sekolah ku. Segala pekerjaan Ia kerjakan mulai dari menjadi
buruh cuci hingga berjualan gorengan keliling kampung. Tak pernah sedikit pun
Ia mengeluh.
Ibu laksana
air yang selalu dicari, mengalir jutaan kasih sayang tak bertepi. Ia selalu
berusaha utuh, meskipun Ia telah rapuh. Ibu selalu menguatkan ku, mendidik ku
menjadi perempuan yang tangguh.
Kini,
perpisahan itu hanya memori sendu dalam ingat ku. Goresan luka yang tak pernah
mengering.
Penulis : CheChe Nur' Aeni (Aktivis K.P.Ronggolawe)
Dikutip dari Majalah FORMASI ''Bumi Wali Kokoh Tak Tertandingi'' Edisi XXII MEI 2021
Komentar
Posting Komentar