Jaringan Aktifis Nasional Desak PA Tak Keluarkan Diska
SuaraBanyuurip.com - Teguh Budi Utomo
Tuban
-
Jaringan aktifis perempuan nasional mendesak Pengadilan Agama (PA) Kabupaten
Tuban, Jatim untuk tidak mengeluarkan Dispensasi Nikah (Diska) dalam kasus
kekerasan seksual (KS) dengan korban usia 14 tahun di Plumpang. Mereka
beralasan kasus tersebut saat ini dalam penyelidikan Polisi, dipantau media,
dan dalam pengawalan serius jaringan aktifis perempuan pengada layanan anak dan
perempuan korban kekerasan.
PA Tuban telah menggelar sidang Diska pada tanggal
29 Juli 2022 dipimpin hakim tunggal, Slamet S.Ag SH MH, dan Panitera Pengganti
Wawan SH. Sidang selama hampir satu jam sejak pukul 10.30 WIB itu, dihadiri
keluarga pelaku, AH (22 tahun), dan keluarga korban, M (14 tahun).
Diperoleh informasi, jika sidang dengan kesan
tertutup tersebut belum memberikan hasil keputusan. Sidang ditunda untuk waktu
satu minggu mendatang.
"Kami memohon dengan sangat kepada Ketua PA
Tuban, dan Hakim untuk tidak mengabulkan permohonan Diska terhadap kasus KS di
Plumpang itu," kata Direktur LBH KP Ronggolawe Tuban, Nunuk Fauziah,
kepada SuaraBanyuurip.com, Sabtu (30/07/2022).
Kasus KS dengan korban telah melahirkan anak
laki-laki itu, kini dalam status penyelidikan jajaran Reskrim Polres Tuban.
Termasuk pula dalam pengawalan aktifis dari 18 lembaga (LSM) dan pers berjejaring
di Jatim dan nasional.
Dalam UU 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS)--apalagi dengan korban anak, menurut perempuan
aktivis dari Bumi Ranggalawe itu, tidak mengenal penyelesaian di luar
pengadilan. Ditegaskan pula tidak ada pemaksaan perkawinan dengan pelaku KS.
"Dengan dasar itu seharusnya semua pihak
mematuhi Pasal 19 UU TPKS, biarkan kasus ini berproses sesuai peraturan
perundang-undangan," kata Nunuk yang kala itu didampingi Ketua LSM Koalisi
Perempuan Ronggolawe, Tsuwarti.
Ia tegaskan pula, dalam Pasal 10 Ayat 1 diamanatkan, setiap orang secara
melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang
lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau membiarkan
dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena
pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000.
Sedangkan di Ayat (2) ditegaskan pula, termasuk
pemaksaan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. Perkawinan anak; b.
Pemaksaan perkawinan dengan mengatasnamakan praktik budaya; atau c. Pemaksaan
perkawinan korban dengan pelaku perkosaan.
Ditambahkan, dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor: 5
Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, juga
disebutkan menjadi tanggung jawab orang tua untuk mencegah terjadinya
perkawinan anak.
"Untuk peraturan Mahkamah Agung ini terdapat
pada Pasal 3 poin c, yang berisi meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam
pencegahan perkawinan anak," tambahnya.
Sementara itu dalam UU Nomor: 16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan,
Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun.
Selain juga dalam Pasal 26 Ayat (1) UU Nomor: 35
tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan, orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab, diantaranya, untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
anak, dan pemerintah berkewajinan serta bertanggung jawab dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.
Selain itu, Konvensi Hak Anak pada Pasal 3 ditegaskan,
semua tindakan dan keputusan menyangkut seorang anak harus dilakukan atas dasar
kepentingan terbaik sang anak. Pasal 19 mengamanatkan, setiap anak berhak
mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan, penganiayaan, dan
pengabaian.
Kabupaten Tuban sendiri, tambah Nunuk Fauziah,
memiliki Perda 3 tahun 2018 tentang Perubahan atas Perda 13 tahun 2013 tentang
Perlindungan Anak. Pasal 9 ayat (1) dari Perda itu ditegaskan, orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap anak dalam bentuk diantaranya:
mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, dan melaporkan anaknya yang menjadi
korban kekerasan seksual.
Sekalipun persidangan Diska yang menjadi kewenangan
PA karena ranah Perdata, namun LBH KP Ronggolawe bersama jaringan LSM lainnya
berharap hakim mempertimbangkan referensi yang disampaikannya tersebut.
"Kami sangat mempercayai kebijakan Hakim PA
Tuban, dalam pengambilan keputusan pasti mempertimbangkan referensi regulasi
Negara terkait perlindungan dan kepentingan terbaik anak," ujar Nunuk
Fauziah. "Terutama anak yang menjadi korban kekerasan seksual."
Kendati demikian, menurut Nunuk, jika PA Tuban tetap
mengabulkan Diska, sama halnya struktur pemerintahan tidak tunduk pada
konsitusi Negara.
Sayangnya hingga berita ini diunggah, belum diperoleh
konfirmasi dari PA Tuban. Lembaga yang diantaranya menangani gugat cerai dan
Diska tersebut memiliki 5 hari kerja, hari Sabtu libur. (tbu)
https://www.suarabanyuurip.com/headline/read/464951/jaringan-aktifis-nasional-desak-pa-tak-keluarkan-diska
Komentar
Posting Komentar