DPRD Tuban Siapkan Jaring Protap Pemohon Diska (2)
Suarabanyuurip.com
- Teguh Budi Utomo
Pembiaran terhadap kasus kekerasan seksual terhadap
anak sama halnya melanggengkan pelanggaran hukum. Dampaknya bakal melahirkan
generasi tak sempurna secara lahir dan batin.
"Jika situasi seperti ini terus menerus
dibiarkan maka terpaksa kami mengatakan, membiarkan pelaku predator kekerasan
seksual tanpa proses dan keputusan hukum, sama halnya struktur pemerintahan
tidak tunduk pada konsitusi negara,” tegas Nunuk Fauziah.
Nunuk tak sekadar berasumsi. Dampak kekerasan
seksual yang berakhir pada pernikahan pelaku dan korban, tanpa proses hukum,
bakal semakin tragis bagi korbannya.
Secara medik dampak perkawinan anak bagi anak
perempuan sangat mengerikan. Usia rahim prima secara fisik berada pada umur di
atas 20 tahun. Di bawah usia itu sangat berisiko mendapatkan komplikasi fistula
obstetri, infeksi, pendarahan hebat, anemia dan eklampsia.
Korban perempuan anak dipastikan mengalami putus
sekolah. Hal ini berakibat kurang memiliki posisi tawar yang tinggi, dalam
membangun relasi keluarga sebagai istri dengan suaminya.
Termasuk semakin kecilnya kesempatan kerja bagi
perempuan. Mereka akan berada dalam lingkaran kuasa yang timpang, dan fungsinya
hanya menjadi istri dalam kontruksi patriarki. Sebatas pasangan seks, dan
mengurus anak.
Belum lagi soal kesiapan psikologis dan mental yang
tak bisa dipandang sebelah mata. Usia di bawah 18 tahun memiliki anak tentunya
belum sangat mantang untuk mampu membangun keluarga, akan sering terjadi ketimpangan,
tidak jarang berujung pada KDRT.
“Sepanjang tahun 2020 sampai 2021, LBH KP
Ronggolawe menangani 115 perkara kasus anak korban KDRT yang menikah di usia
anak,” papar Nunuk Fauziah dalam rilis yang diterima Suarabanyuurip.com, Kamis
(01/09/2022) malam.
Sesuai data dari lapangan pula, dampak sosial
perkawinan anak akan menambah deretan angka perceraian akibat KDRT. Kasus
insecure, diskriminasi di lingkungan sosial, dan kemiskinan terhadap perempuan.
Komisi IV DPRD
Tuban Raker 3 dan Komisi IV DPRD Tuban Raker 4.
© 2022 suarabanyuurip.com/Teguh
Budi Utomo
Sedangkan Kasi Binmas Kantor Kemenag Tuban,
Mashari, menyatakan, sesuai data dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang tersebar
di 20 wilayah kecamatan di Tuban, mulai bulan Januari hingga Juli 2022 terdapat
320 perkara Diska yang dikabulkan PA. Dalam periode sama angka pernikahan
sebanyak 5.794, jika diprosentase angka perkawinan anak mencapai 18 persen.
“Anak menikah usia 13 sampai 15 tahun pada tahun 2022 berjumlah 36 orang,” kata Mashari.
Bila melihat basis hukum, UU TPKS tak mengenal
penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar pengadilan. UU itu juga menegaskan
tidak ada pemaksaan perkawinan dengan pelaku kekerasan seksual.
Dalam pasal 10 ayat (I) UU TPKS, urai Nunuk
Fauziah, setiap orang secara melawan hukum memaksa, menempatkan seseorang di
bawah kekuasaannya atau orang lain, atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk
melakukan atau membiarkan dilakukan perkawinan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana karena pemaksaan perkawinan, dengan pidana penjara paling lama 9
(sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus
juta rupiah).
Ayat (2) termasuk pemaksaan perkawinan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1): a. Perkawinan anak; b. Pemaksaan perkawinan dengan
mengatasnamakan praktik budaya; atau c. Pemaksaan perkawinan korban dengan
pelaku perkosaan.
Mahkamah Agung juga mengeluarkan peraturan (Perma)
Nomor : 5 tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Terdapat pada pasal 3 poin c yang menyebut, “meningkatkan tanggung jawab orang
tua dalam pencegahan perkawinan anak.”
UU 16 tahun 2019 tentang perubahan UU 1 tahun 1974
tentang Perkawinan di Pasal 7 ayat (1) juga menegaskan, “perkawinan hanya
diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun”.
Sementara itu UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, menegaskan dalam Pasal 26 ayat (1), “Orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab diantaranya untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia
Anak, dan pemerintah berkewajinan serta bertanggung jawab dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaran perlindungan anak”.
Demikian pula dengan Konvensi Hak Anak. Dalam Pasal
3 diamanatkan, “semua tindakan dan keputusan menyangkut seorang anak harus
dilakukan atas dasar kepentingan terbaik sang anak”. Di Pasal 19 disebutkan,
“Tiap anak berhak mendapat pengasuhan yang layak, dilindungi dari kekerasan,
penganiayaan, dan pengabaian.”
Rangkaian regulasi tersebut, sejatinya telah
diadobsi oleh Pemkab Tuban dengan keluarnya Perda 3 tahun 2018 tentang
Perubahan atas Perda 13 tahun 2013 tentang Perlindungan Anak. Pasal 9 ayat (1)
menyebut, Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap anak dalam
bentuk diantaranya: mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak, dan
melaporkan anaknya yang menjadi korban kekerasan seksual.
Atas dasar kajian dan pertimbangan substansi
tersebut, tambah Nunuk Fauziah, pihaknya meminta Dinsos P3A/P2TP2A yang
terlibat memberi rekomendasi permohonan Diska untuk selanjutnya dikirim ke PA,
supaya mempertimbangkan setiap permohonan Diska. Terlebih jika pemohonnya
ditengarai sebagai pelaku kekerasan seksual, dan dalam pemantauan kelembagaan,
kepolisian, dan media massa.
“Jangan mudah mengeluarkan rekomendasi Diska,
terhadap pelaku kekerasan seksual. Kalaupun dikabulkan seharusnya melalui
mekanisme yang ketat, seperti melibatkan struktur P2TPA2 untuk memperoleh
masukan, dan pertimbangan khususnya kepentingan terbaik bagi korban,” pungkas
Nunuk Fauziah.
Di lain sisi terhadap kasus kekerasan seksual, ujar
Mashari, pihak Kemenag Tuban mengusulkan dua opsi. Yakni, pencegahan, dan
pendampingan.
Pencegahan saat ini masih pada Organisasi
Pemerintah Daerah (OPD) masing-masing, dan mereka terkesan berjalan sendiri-sendiri.
Harusnya ada arah kebijakan untuk membentuk tim mulai tingkat desa, kecamatan,
dan kabupaten. Tim pencegahan Diska, dan penuruan stunting yang terdiri dari
multistakeholder.
“Pendampingan yang dimaksud diberikan kepada
kasus-kasus tertentu, seperti pernikahan anak yang terjadi akibat kehamilan
atau pernikahan akibat dari kekerasan seksual,” papar Mashari.
Saat ini program dari Kemenag masih berupa
pencegahan dengan sasaran anak sekolah, mahasiswa, dan pasangan pra nikah.
Melihat pentingnya problema kekerasan seksual
terhadap anak, Ketua DPRD Tuban H Miyadi menyatakan, harus ada singkronisasi
dari pemerintah daerah, dan perlunya ada tim dari multistakeholder untuk duduk
bareng. Mereka bertugas melakukan kajian bersama untuk memetakan kasus dan mencari
solusinya.
“DPRD tugasnya memfasilitasi untuk mempertemukan
multistakeholder, sehingga perlu duduk bareng antara Dinkes, PA, Kemenag, Dinas
Pendidikan, Dinsos P3A, lembaga layanan, dan Polres untuk membahas
pernik-pernik terkait Diska,” tegas politisi senior yang juga Ketua DPC PKB
Tuban itu.
Pertemuan panjang melelahkan tersebut melahirkan
lima rekomendasi dari Komisi IV DPRD Tuban. yakni; 1. Komisi IV akan membuat
kebijakan terkait dengan pencegahan, dan pendampingan kerja sama dengan
program-program di OPD yang difokuskan pada Diska. 2. Komisi akan membuat
kebijakan dan program yang disampaikan oleh Kemenag dengan membentuk tim
pencegahan Diska dan penurunan stunting.
Kemudian yang ke 3. Kasus kekerasan seksual di
Plumpang secara hukum diserahkan penanganannya kepada Polres Tuban, dan Komisi
IV siap terlibat di dalamnya. 4. Perihal pemberian rekomendasi Diska akan
dilakukan pertemuan antara Kemenag, Dinkes, PA, dan P2TP2A untuk menentukan
indikator pemberian Diska.
Yang ke 5, Komisi IV berharap kerja sama semua
pihak untuk membangun kesadaran orang tua, masyarakat, keterbukaan anak
terhadap orang tua sehinga anak nyaman memeiliki, dan orang tua adalah ruang untuk
bercerita bagi anak.
“Kami berharap hal ini segera ditindaklanjuti,
sehingga bisa mengurangi angka kekerasan seksual,” pungkas Tri Asturi. (teguh
budi utomo/habis)
https://www.suarabanyuurip.com/sosial-politik/read/470323/dprd-tuban-siapkan-jaring-protap-pemohon-diska-2?utm_source=Mobile&utm_medium=whatsapp&utm_campaign=Share_Bottom
Komentar
Posting Komentar